(gambar : city.seruu.com)
Rizky-catatanku.---Ujian Nasional
tahun ini 2012/2013 merupakan ujian yang paling buruk sepanjang sejarah adanya
ujian nasional. Hal ini didukung beberapa fakta yang mengejutkan di dunia
pendidikan kita. Sebenarnya tanda-tanda
kehancuran dunia pendidikan adalah saat dimana pendidikan sudah mulai
dicampuri dengan hal-hal lain seperti politisasi, proyek milyaran tanpa jelas
arahnya dan lain sebagainya.
Tuhan saat ini telah menunjukkan
betapa dahsyatnya dampak adanya Ujian Nasional sebagai salah satu penentu
kelulusan oleh pusat. Dipandang dari
sisi apapun akan melanggar, berikut paparannya:
1). Dari sisi spiritual
: ujian nasional dijadikan kelulusan menjadikan banyak pihak cenderung berbuat
kecurangan sehingga menambah dosa saja. Hal ini dapat dipahami karena
setiap madrasah atau sekolah akan mempertaruhkan nama sekolahnya, sehingga apapun
caranya ditempuh demi kelulusan 100%. Di lain pihak banyak yang
memanfaatkan kesempatan untuk menjual kunci jawaban, atau bahkan disebarkan
secara cuma-cuma agar di suatu daearah tertentu prosentase tingkat kelulusannya
menjadi tinggi. Bahkan banyak korban yang secara psikologis terkena, yang tidak
muncul dipemberitaan, seperti guru, kepala sekolah, kepala dinas sampai dengan
kepala daerah yang mempertaruhkan nama daerahnya agar mendapat kelulusan
tinggi. Bagi siswa sendiri dari psikologis siswa akan tertekan dan tidak nyaman
lagi bahkan menjadikan stress secara akumulasi, jika sekolah-sekolah yang sudah
maju mungkin tidak masalah, bagaimana dengan sekolah-sekolah pinggiran yang
sarana dan prasarananya belum memadai ? Atau bahkan menjadi sebaliknya siswa
menjadi malas belajar, kenapa? Ya tentulah sudah menjadi rahasia umum, banyak
beredar kunci jawaban sebelum pelaksanaan ujian nasional. Sebuah kalimat yang sering kita dengar dalam ceramah- ceramah para tokoh agama Islam mengatakan "bila suatu urusan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya".
2). Dari sisi pendidikan : ujian nasional
dijadikan kelulusan menjadikan esensi atau hakikat pendidikan menjadi hilang
dan tanpa makna. Hal ini dapat dipahami karena dengan mematok batas kelulusan
secara sama di seluruh Indonesia berarti memandang setiap individu adalah sama,
padahal di dunia pendidikan dikatakan bahwa setiap individu adalah UNIK dan BERBEDA. Di satu sisi siswa unggul dalam hal sains dan di sisi lain
kurang dalam hal bahasa asing, hal itu merupakan sesuatu yang alami atau
natural (sunatullah). Jelas bahwa yang lebih mengetahui kondisi siswa baik yang
nampak dan yang tidak nampak (psikologis) seorang siswa adalah Satuan
Pendidikan khusunya guru yang mendidik dan mengajar siswa tersebut. Sebuah
kalimat yang cocok kita ungkapkan di sini adalah : “MANUSIA BUKANLAH
MESIN, TETAPI INDIVIDU YANG UNIK”
3). Dari sisi hukum
: ujian nasional dijadikan kelulusan menjadikan bertentangan dengan undang-
undang pendidikan, yang mengatakan bahwa KELULUSAN SISWA ditentukan oleh Satuan
Pendidikan atau guru (baca UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 Bab XVI pasal 58 : "Evaluasi hasil peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan"). Dengan demikian seorang siswa dikatakan LULUS atau TIDAK
LULUS yang memiliki kewenangan adalah Satuan Pendidikan (sekolah/madrasah) tempat dimana siswa tersebut belajar. Pihak
luar selain Satuan Pendidikan
tidak berwenang menentukan lulus
atau tidak lulus seorang siswa, apalagi hanya melihat data nilai yang tertulis
di lembar kertas, sesuatu yang sangat naif jika hal itu terjadi. Perlu dipahami
bahwa jika hanya melihat angka-angka nilai saja , maka kita akan terkecoh
apakah benar angka yang tertera di lembar kertas tersebut? Jadi angka -angka
atau data yang tertulis bisa saja dibuat sedemikian rupa agar nampak bagus,
jika demikian maka tentunya hal ini mengabaikan proses belajar yang
telah ditempuh selama kurang lebih 3 tahun di madrasah atau sekolah.
4). Dari sisi kode etik
profesi : ujian nasional dijadikan kelulusan (mematok nilai batas
minimal) merupakan hal yang bertentangan dengan kode etik profesi guru. Jelas
dapat dipahami bahwa dengan mematok nilai pada ujian nasional minimal “sekian”
artinya guru atau pendidik sudah tidak berhak lagi menentukan siswa lulus atau
tidak lulus, sebab apapun sikap siswa dan berapapun nilai sekolah siswa bila
sudah dinyatakan TIDAK LULUS dalam UJIAN NASIONAL berarti sudah final (putusan akhir).
Seharusnya KELULUSAN dikembalikan kepada Satuan Pendidikan atau Guru, BUKAN
ditentukan oleh pihak lain diluar satuan pendidikan tempat siswa belajar
menempa ilmu. Dengan demikian menghilangkan hak-hak guru sebagai pendidik sehingga melanggar UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 Bab XVI pasal 58.
5). Dari sisi ekonomi
: ujian nasional dijadikan patokan kelulusan merupakan hal yang bertentangan
dengan prinsip ekonomi. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan menerapkan ujian
nasional berarti anggaran negara menjadi bertambah, seharusnya untuk
meningkatkan mutu pendidikan dengan cara memfasilitasi tenaga pendidiknya, atau
dengan memberikan beasiswa secara lebih mudah, teknologi diperkenalkan dengan
para tenaga pendidik, sarana dan prasarana dicukupi. Sepanjang sejarah Indonesia baru
tahun ini ujian nasional memakan biaya termahal
sebanyak kurang lebih 548 Milyar rupiah dan pelaksanaannya banyak kekurangan alias amburadul seperti penundaan ujian nasional di 11 propinsi
di seluruh Indonesia. Propinsi yang mengalami penundaan adalah : Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan jumlah siswa 1,1 juta siswa di sebanyak 3.601 SMA/MA serta di sebanyak 1.508 SMK (sumber: edukasi.kompas.com jumat 26 April 2013)
6). Dari sisi psikologi : ujian nasional sebagai salah satu penentu kelulusan dapat membuat psikologis siswa, bahkan guru dan pimpinannya menjadi tidak nyaman. Hal itu jelas bertentangan dengan konsep pendidikan yaitu bahwa pendidikan harus memiliki rasa aman, nyaman, dan menyenangkan (baca UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 Bab XI Pasal 40 ayat 2 berbunyi "pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis"). Pendidikan bukanlah sistem yang membuat stress bahkan bisa menyebabkan stroke (misal : siswa peserta UN 2013 dari Makassar yang disiarkan di TV ONE Minggu malam 29 April 2013). Pada akhirnya siswa akan belajar mengerjakan soal pilihan ganda saja, terus dan terus mengerjakan soal. Dengan kata lain sekolah adalah "mengerjakan soal saja" sehingga makna pendidikan menjadi lenyap.
6). Dari sisi psikologi : ujian nasional sebagai salah satu penentu kelulusan dapat membuat psikologis siswa, bahkan guru dan pimpinannya menjadi tidak nyaman. Hal itu jelas bertentangan dengan konsep pendidikan yaitu bahwa pendidikan harus memiliki rasa aman, nyaman, dan menyenangkan (baca UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 Bab XI Pasal 40 ayat 2 berbunyi "pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis"). Pendidikan bukanlah sistem yang membuat stress bahkan bisa menyebabkan stroke (misal : siswa peserta UN 2013 dari Makassar yang disiarkan di TV ONE Minggu malam 29 April 2013). Pada akhirnya siswa akan belajar mengerjakan soal pilihan ganda saja, terus dan terus mengerjakan soal. Dengan kata lain sekolah adalah "mengerjakan soal saja" sehingga makna pendidikan menjadi lenyap.
Demikian seputar Ujian Nasional
di Indonesia. Anda sedang membaca artikel “Kenapa dengan Ujian
Nasional Kita ?”
============================================================================
sumber : rizky-catatanku
penulis : administrator
============================================================================